Thursday, 21 February 2013

Sejarah mengenai busana



Sejarah busana


Sejak zaman purbakala orang sudah mengenal busana, ketika mereka menemukan bahan penutup tubuhnya. Setelah mereka pandai berburu binatang liar, mereka mendapatkan dua hal yang sangat penting untuk hidupnya yaitu daging untuk dimakan , dan kulit binatang untuk menutupi tubuhnya. Jenis binatang buruan yang mereka peroleh adalah beruang, badak, kerbau, kambing, rusa, serta kelinci. Kulit binatang tersebut memberikan rasa hangat bila dipakai. Hal ini penting apabila berada di alam yang berhawa dingin.
Agar kulit binatang tersebut dapat dililitkan dan disampirkan pada tubuh, perlu dilemaskan terlebih dahulu. Sebelum dilemaskan, kulit terlebih dahulu dibersihkan bagian dalamnya kemudian dipukul-pukul dengan batu atau tulang dan diperhalus dengan menggosokkan lemak. Pekerjaan mengolah kulit sampai menjadi busana ini, biasanya dilakukan oleh wanita.
Pada zaan batu muda atau zaman neolitikum, mereka mereka talah menemukan jarum jahit yang mereka buat dari tulang. Dengan alat itu mereka dapat menyambung-nyambung kulit. Teknik ini telah berkembang menjadi teknik menjahit yang dikenal sekarang.


Di lain benua, orang menemukan bahan busana yang lain pula. Bangsa Inca di Amerika menemukan bahan busana dari kulit kayu. Mereka mengambil kulit dari jenis pohon tertentu, dan diambil dalam keadaan utuh tanpa dibelah. Mereka menamakan pohon itu pohon kutang. Hal yang sama ditemukan juga di Indonesia, yaitu di Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Irian Jaya. Bahan dari kulit kayu tersebut disebut fuya. Di Irian Jaya, busana dari kulit kayu disebut copo. Bahan busana dari kulit kayu yang terbaik adalah dari Sulawesi Tengah.
Sekarang, kulit kayu masih digunakan sebagai bahan busana dibeberapa daerah tertentu di Indonesia, sedangkan kulit binatang dijadikan mantel, jas (jaket), dan sebagainya. Kulit binatang dapat dibuat menjadi bahan busana mewah yang mahal harganya. Di negara-negara beriklim empat musim, busana dari kulit berbulu menjadi milik yang dibanggakan. Kulit binatang yang dipakai, misalnya, vos berang-berang (beaver) dan beruang es yang berbulu indah.
Pada zaman dahulu, orang tidak begitu menghiraukan busana yang dipakainya, kecuali sekedar menutupi rasa malu, atau berhubungan dengan takhayul. Di daerah panas, orang lebih banyak menghiasi dirinya dengan goresan-goresan (tatto), untaian gigi dan taring manusia yang dikalungkan pada liher atau pada pergelangan tangan dan kaki. Untaian tersebut juga berfungsi sebagai penangkal terhadap gigitan serangga.
Di daerah dingin, orang menutupi seluruh tubuhnya dengan lumuran tanah liat yang berwarna dan bercampur lemak, sehingga badan terasa panas. Lumuran tanah liat, kalung dan gelang, serta goresan-goresan tersebut belum dapat disebut busana, karena lebih cenderung merupakan perhiasan. Orang disebut berbusana setelah ia menutupi badannya dengan kulit pohon atau kulit binatang. Dari kulit pohon dan kulit binatang ini kemudian disusul dengan bahan-bahan yang ditenun. Bahan hasil tenunan ini berbentuk segi empat panjang. Pada mulanya bahan tersebut hanya disampirkan saja atau dililitkan pada tubuh. Kemudian timbullah seni memotong dan menjahit, ketika orang ingin menampilkan benyuk yang lebih sesuai dengan bentuk tubuh.
Dengan berkembangnya seni memotong dan menjahit, berkembang pula seni berbusana yang bertujuan menjadikan penampilan seseorang lebih menarik.

0 comments:

Post a Comment