Sejarah busana
Sejak zaman
purbakala orang sudah mengenal busana, ketika mereka menemukan bahan penutup
tubuhnya. Setelah mereka pandai berburu binatang liar, mereka mendapatkan dua
hal yang sangat penting untuk hidupnya yaitu daging untuk dimakan , dan kulit
binatang untuk menutupi tubuhnya. Jenis binatang buruan yang mereka peroleh
adalah beruang, badak, kerbau, kambing, rusa, serta kelinci. Kulit binatang
tersebut memberikan rasa hangat bila dipakai. Hal ini penting apabila berada di
alam yang berhawa dingin.
Agar kulit binatang
tersebut dapat dililitkan dan disampirkan pada tubuh, perlu dilemaskan terlebih
dahulu. Sebelum dilemaskan, kulit terlebih dahulu dibersihkan bagian dalamnya
kemudian dipukul-pukul dengan batu atau tulang dan diperhalus dengan menggosokkan
lemak. Pekerjaan mengolah kulit sampai menjadi busana ini, biasanya dilakukan
oleh wanita.
Pada zaan batu muda
atau zaman neolitikum, mereka mereka talah menemukan jarum jahit yang mereka
buat dari tulang. Dengan alat itu mereka dapat menyambung-nyambung kulit.
Teknik ini telah berkembang menjadi teknik menjahit yang dikenal sekarang.
Di lain benua,
orang menemukan bahan busana yang lain pula. Bangsa Inca di Amerika menemukan
bahan busana dari kulit kayu. Mereka mengambil kulit dari jenis pohon tertentu,
dan diambil dalam keadaan utuh tanpa dibelah. Mereka menamakan pohon itu pohon
kutang. Hal yang sama ditemukan juga di Indonesia, yaitu di Sulawesi Tengah,
Kalimantan dan Irian Jaya. Bahan dari kulit kayu tersebut disebut fuya. Di
Irian Jaya, busana dari kulit kayu disebut copo. Bahan busana dari kulit kayu
yang terbaik adalah dari Sulawesi Tengah.
Sekarang, kulit
kayu masih digunakan sebagai bahan busana dibeberapa daerah tertentu di
Indonesia, sedangkan kulit binatang dijadikan mantel, jas (jaket), dan
sebagainya. Kulit binatang dapat dibuat menjadi bahan busana mewah yang mahal
harganya. Di negara-negara beriklim empat musim, busana dari kulit berbulu
menjadi milik yang dibanggakan. Kulit binatang yang dipakai, misalnya, vos
berang-berang (beaver) dan beruang es yang berbulu indah.
Pada zaman dahulu,
orang tidak begitu menghiraukan busana yang dipakainya, kecuali sekedar
menutupi rasa malu, atau berhubungan dengan takhayul. Di daerah panas, orang
lebih banyak menghiasi dirinya dengan goresan-goresan (tatto), untaian gigi dan
taring manusia yang dikalungkan pada liher atau pada pergelangan tangan dan
kaki. Untaian tersebut juga berfungsi sebagai penangkal terhadap gigitan
serangga.
Di daerah dingin,
orang menutupi seluruh tubuhnya dengan lumuran tanah liat yang berwarna dan
bercampur lemak, sehingga badan terasa panas. Lumuran tanah liat, kalung dan
gelang, serta goresan-goresan tersebut belum dapat disebut busana, karena lebih
cenderung merupakan perhiasan. Orang disebut berbusana setelah ia menutupi
badannya dengan kulit pohon atau kulit binatang. Dari kulit pohon dan kulit
binatang ini kemudian disusul dengan bahan-bahan yang ditenun. Bahan hasil
tenunan ini berbentuk segi empat panjang. Pada mulanya bahan tersebut hanya
disampirkan saja atau dililitkan pada tubuh. Kemudian timbullah seni memotong
dan menjahit, ketika orang ingin menampilkan benyuk yang lebih sesuai dengan
bentuk tubuh.
0 comments:
Post a Comment